OPINI - Penjajahan dari dulu sampai hari ini bentuk dan polanya sama, yaitu perbudakan, penjarahan, dan pembungkaman.
Penjajahan pelakunya juga sama, yaitu pemilik modal, dan pemilik kekuasaan. Dulu pemilik modal bernama kumpeni, sekarang populer dengan sebutan oligarki. Dulu pemilik kekuasaan bernama kerajaan, saat ini diperhalus dengan sebutan 'Dinasti Politik'.
Kumpeni yang berganti gelar dengan oligarki bersekongkol dengan kerajaan atau feodal baru 'Dinasti Politik' memeras keringat rakyat melalui "Upah yang Sangat Murah" dan penguasaan lahan melalui bisnis perkebunan dan pertambangan.
Kumpeni yang 'Oligarki' ini mensponsori 'Dinasti Politik' untuk membuat Undang-udang Perburuhan yang berimplikasi kepada Upah yang murah dan kekuasaan untuk menguasai lahan yang punya nilai ekonomi dan bisnis.
Alasan klasik selalu mereka pakai yaitu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, artinya bukan untuk kesejateraan rakyat.
Lapangan kerja sebanyak-banyak tapi dengan upah murah tidak jauh berbeda dengan kerja paksa yang dilakukan "Kumpeni Belanda' selama 350 tahun di bumi Nusantara yang kini berganti nama Indonesia.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Rakyat dipaksa atau terpaksa bekerja dengan upah murah di pabrik-pabrik, di perkebunan, dan di pertambangan milik para Kumpeni, Oligarki yang menguasai lebih dari 80% Sumber Daya di Indonesia, baik sumber daya alam (SDA), maupun sumber daya manusia (SDM).
Sumber daya manusia yang dipanggil buruh ditekan untuk memilih anggota keluarga Dinasti Politik dalam pemilihan anggota legislatif dan presiden.
Hal ini bisa dilakukan dengan pemaksaan secara halus, maupun melalui 'fulus' atau 'money politics.' Prinsip 'Uang yang Bicara' benar-benar dipraktekan dan dipertontonkan oleh para Oligarki atau Kumpeni ini melalui aktor "Dinasti Politik.'
Kumpeni (Oligarki) dan Kerajaan (Dinasti) Politik akan mencari dan mensponsori para politisi karbitan dan jongos partai yang diperhalus dengan sebutan 'Petugas Partai' untuk menjadi Raja yang sudah berganti nama dengan panggilan Ketua Partai, Anggota DPR/DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Pemilu 2024 akan menjadi titik perjuangan lepas dari penjajahan Kumpeni atau Oligarki, atau titik keberlanjutan penjajahan yang mungkin saja akan berlanjut sampai 350 tahun lagi.
Calon presiden pilihan rakyat sudah bisa dipastikan musuh utama para Kumpeni dan Kerajaan Politik yang sangat ingin melanggengkan penjajahanya.
Kumpeni atau Oligarki dan Dinasti Politik akan berusaha menghalangi dengan segala cara baik melalui dana dan fitnah serta kekuasaan yang mereka miliki.
Kumpeni akan mengarahkan para buruh yang menggantungkan hidup kepada mereka untuk memilih calon tertentu dengan iming-iming 'Uang' atau ancaman 'PHK' apabila melawan.
Kerajaan atau 'Dinasti Politik' mulai saat ini walaupun belum masa kampanye sudah mulai bagi-bagi sembako, lempar-lempar kaos, tempel-tempel stiker di rumah-rumah warga yang sudah pasti disponsori oleh Kumpeni atau Oligarki.
Pemilu 2024 adalah perjuangan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia untuk lepas dari cengkraman para Kumpeni atau Oligarki yang memperalat 'Dinasti Politik.'
Perjuangan kemerdekaan ini bukanlah hal yang mudah dan murah. Dulu waktu Kumpeni Belanda menguasai Nusantara selama 350 tahun hanya oleh beberapa orang asing dengan kaki tangan para penghianat bangsa, namun saat ini Kumpeni gaya baru atau Oligarki dan Dinasti Politik bisa saja orang yang sama, karena Kumpeni atau Oligarki sudah memiliki Dinasti Politik sendiri yang dinamakan Partai.
Jakarta, 12 Oktober 2023
Awalan H akhira i
Pengamat Oligarki dan Dinasti Politik